Minggu, 11 Maret 2012

“Artikel Psikologi Hewan”


Psikologi perilaku pada hewan antara induk-keturunannya
Beberapa studi memperlihatkan bahwa interaksi sosial yang terjadi antara induk-keturunan selama periode krisis menjadi kunci perkembangan perilaku yang normal. Seorang psikolog Harry Harlow mencoba bayi rhesus monyet dengan menggunakan dua pengganti “ibu”. Satu ibu dibuat dari kain lembut yang didalamnya ada kawatnya. Sedangkan yang ibunya yang lain terbuat dari kawat saja. Sang bayi ternyata lebih memilih ibu yang terbuat dari kain lembut meskipun yang menyajikan makanan dalag ibu yang terbuat dari kawat. Sang bayi memilih hubungan yang lebih dari pada hanya hubungan makanan, meskipun keduanya akan mempengaruhinya sebagai lingkungan sosial. Jika sang bayi sangat merasa kekurangan kontak sosial dengan induknya, maka ia akan tumbuh secara tidak normal. Lebih besar perasaan kehilangan pada sang bayi, maka akan lebih besar pula kelainan sang bayi dalam perilaku sosial ketika hidup semakin tumbuh menjadi anak-anak dan dewasa.
Seorang ahli perilaku hewan berkebangsaan jerman Konrad Lorenz berhasil menunjukkan fenomena ini. Apa yang pertama kali dilihat oleh burung ketika menetas itulah yang akan diikuti dan akan mengikuti perilaku sosial dari apa yang diikutinya. Lorenz  menetaskan telur angsa kemudian ia menampakkan dirinya sebagai model imprinting bahwa dialah yang bertindak sebagai ibu adri sang angsa. 
Penelitian Herry Harlow terhadap bayi manusia mengungkapkan bahwa kehadiran “figure/tokoh ibu” sangat diperlukan bagi sang bayi dan anak-anak untuk pertumbuhan yang normal dan perkembangan psikolognya. Hal ini juga berlaku terhadap hewan yang juga sangat memerlukan “figure/tokoh ibu” dalam perkembangan psikolognya.
Peneliti akhir-akhir ini juga telah mengungkap tentang pentingnya kebutuhan biologis antara ibu-anak untuk merangsang hubungan antara ibu-anak dalam masa awal hidupanya.
Seekor induk tikus betina menjilati anaknya ketika lahir yang dijilati akan memperoleh peningkatan berat badan dengan lebih cepat. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan interaksi sosial yang normal diantaranya melalui sentuhan dan aspek-aspek lain akan menjadi dasar bagi otak untuk menentukan hubungan antara orang tua-anak yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik, demikian juga dengan perkembangan tingkah lakunya.
Selain filial imprinting, dikenal juga sexual impriting. Sexual imprinting adalah proses-proses yang dipelajari oleh individu untuk mengarahkan perilaku sexualnya dalam kelompok spesiesnya. Penelitian cross-fostering (ibu asuh) yang dilakukan dimana suatu individu dibesarkan oleh orang tua asuh/induk yang bukan spesiesnya, memperlihatkan bahwa imprintingnya juga akan muncul pada awal-awal kehidupannya. Pada kebanyakan burung yang perkembangannya diasuh oleh induk lain, pada saat dewasa akan mencoba kawin dengan anggota spesies induk yang mengasuhnya (foster spesies).
Hewanpun perlu waktu untuk bermain
Dengan lebih akurat mengkarakterisasi bermain dan mengamati seluruh kerajaan hewan, maka manusia lebih bisa memahami diri mereka sendiri. Melihat seorang anak kecil atau seekor anjing sedang bermain bukan pemandangan yang asing. Tapi bagaimana dengan kura-kura atau bahkan tawon?
Ternyata, mereka pun senang bermain.
Bahkan, menurut Gordon Burghardt, seorang profesor psikologi di Universitas Tennessee, Knoxville, banyak hewan – bukan hanya anjing, kucing, dan monyet memerlukan  sedikit waktu untuk bermain.
“Saya mempelajari perilaku reptil bayi dan remaja selama bertahun-tahun dan tidak pernah melihat apa pun yang saya pikir sebagai bermain. Lalu suatu hari tanpa sengaja saya melihat Pigface, kura-kura bercangkang lembut Nil, memukul-mukul bola basket di Kebun Binatang National, Washington, DC. Saya menyadari reptil juga senang bermain,” kata Burghardt.
Pada artikel yang berjudul “Resess,” Burghardt menyoroti lima kriteria bermain. Burghardt menjadi salah satu peneliti pertama yang mendefinisikan “bermain” pada manusia dan juga pada spesies yang tidak diduga sebelumnya mampu bermain, seperti ikan, reptil dan invertebrata. Topik yang diangkat dalam artikel Burghardt muncul dalam buku, “The Genesis of Animal Play — Testing the Limits.”
Burghardt meringkas lima kriteria dalam satu kalimat: “Bermain adalah perilaku berulang yang tidak sepenuhnya fungsional dalam konteks atau dalam usia, yang mana hal itu dikerjakan dan dimulai secara sukarela ketika hewan atau orang berada dalam keadaan santai atau stres-rendah.”
Menurut Burghardt, dengan lebih akurat mengkarakterisasi bermain dan mengamati seluruh kerajaan hewan, maka manusia lebih bisa memahami diri mereka sendiri.
“Pada hewan, kita dapat mengevaluasi lebih cermat peran bermain dalam pembelajaran keterampilan, menjaga kebugaran fisik dan mental, meningkatkan hubungan sosial dan seterusnya daripada yang kita bisa dalam masyarakat,” kata Burghardt. “Kami kemudian dapat mengembangkan ide ini dan menerapkannya kepada manusia untuk melihat apakah dinamikanya juga sama pada pekerjaan. Sebagai contoh, peran bermain dalam mengurangi efek dari gangguan perhatian defisit hiperaktif pada anak-anak yang sedang dikaji berdasarkan penelitian pada tikus.”
Bermain telah membantu terapi bagi anak-anak yang mengalami gangguan. Selain itu, studi-studi sedang berlangsung pada peran aktif manfaat dan secara intelektual merangsang kesenangan bagi para pensiunan. Demikian pula, pekerjaan yang menyerupai bermain sangat didambakan oleh manusia.
“Anak-anak dan orang dewasa sering ingin melakukan aktivitas menyenangkan diri dan akan bekerja keras untuk memiliki kesempatan melakukannya. Bagi orang-orang yang paling beruntung, pekerjaan mereka adalah bermain itu sendiri jika memenuhi lima kriteria,” kata Burghardt.
Penelitian Burghardt mengilustrasikan bagaimana bermain telah tertanam dalam biologi spesies, termasuk di dalam otak. Bermain, sebanyak psikologi hewan termasuk emosi, motivasi, persepsi dan kecerdasan, merupakan bagian dari sejarah evolusi mereka dan bukan hanya perilaku acak yang tak berarti, katanya.
“Bermain merupakan bagian integral dari kehidupan dan dapat membuat hidup menjadi berharga.”