Psikologi
perilaku pada hewan antara induk-keturunannya
Beberapa
studi memperlihatkan bahwa interaksi sosial yang terjadi antara induk-keturunan
selama periode krisis menjadi kunci perkembangan perilaku yang normal. Seorang psikolog
Harry Harlow mencoba bayi rhesus monyet dengan menggunakan dua pengganti “ibu”.
Satu ibu dibuat dari kain lembut yang didalamnya ada kawatnya. Sedangkan yang
ibunya yang lain terbuat dari kawat saja. Sang bayi ternyata lebih memilih ibu
yang terbuat dari kain lembut meskipun yang menyajikan makanan dalag ibu yang
terbuat dari kawat. Sang bayi memilih hubungan yang lebih dari pada hanya
hubungan makanan, meskipun keduanya akan mempengaruhinya sebagai lingkungan
sosial. Jika sang bayi sangat merasa kekurangan kontak sosial dengan induknya,
maka ia akan tumbuh secara tidak normal. Lebih besar perasaan kehilangan pada
sang bayi, maka akan lebih besar pula kelainan sang bayi dalam perilaku sosial
ketika hidup semakin tumbuh menjadi anak-anak dan dewasa.
Seorang
ahli perilaku hewan berkebangsaan jerman Konrad Lorenz berhasil menunjukkan
fenomena ini. Apa yang pertama kali dilihat oleh burung ketika menetas itulah
yang akan diikuti dan akan mengikuti perilaku sosial dari apa yang diikutinya.
Lorenz menetaskan telur angsa kemudian
ia menampakkan dirinya sebagai model imprinting bahwa dialah yang bertindak
sebagai ibu adri sang angsa.
Penelitian
Herry Harlow terhadap bayi manusia mengungkapkan bahwa kehadiran “figure/tokoh
ibu” sangat diperlukan bagi sang bayi dan anak-anak untuk pertumbuhan yang
normal dan perkembangan psikolognya. Hal ini juga berlaku terhadap hewan yang
juga sangat memerlukan “figure/tokoh ibu” dalam perkembangan psikolognya.
Peneliti
akhir-akhir ini juga telah mengungkap tentang pentingnya kebutuhan biologis
antara ibu-anak untuk merangsang hubungan antara ibu-anak dalam masa awal hidupanya.
Seekor
induk tikus betina menjilati anaknya ketika lahir yang dijilati akan memperoleh
peningkatan berat badan dengan lebih cepat. Penelitian ini menunjukkan bahwa
kebutuhan interaksi sosial yang normal diantaranya melalui sentuhan dan
aspek-aspek lain akan menjadi dasar bagi otak untuk menentukan hubungan antara
orang tua-anak yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik, demikian juga
dengan perkembangan tingkah lakunya.
Selain
filial imprinting, dikenal juga sexual
impriting. Sexual imprinting
adalah proses-proses yang dipelajari oleh individu untuk mengarahkan perilaku
sexualnya dalam kelompok spesiesnya. Penelitian cross-fostering (ibu asuh) yang dilakukan dimana suatu
individu dibesarkan oleh orang tua asuh/induk yang bukan spesiesnya,
memperlihatkan bahwa imprintingnya juga akan muncul pada awal-awal
kehidupannya. Pada kebanyakan burung yang perkembangannya diasuh oleh induk
lain, pada saat dewasa akan mencoba kawin dengan anggota spesies induk yang
mengasuhnya (foster spesies).
Hewanpun perlu waktu untuk bermain
Dengan lebih akurat mengkarakterisasi
bermain dan mengamati seluruh kerajaan hewan, maka manusia lebih bisa memahami
diri mereka sendiri. Melihat seorang anak kecil atau seekor anjing sedang
bermain bukan pemandangan yang asing. Tapi bagaimana dengan kura-kura atau
bahkan tawon?
Ternyata, mereka pun senang bermain.
Bahkan, menurut Gordon Burghardt, seorang
profesor psikologi di Universitas Tennessee, Knoxville, banyak hewan – bukan hanya
anjing, kucing, dan monyet memerlukan sedikit waktu untuk bermain.
“Saya mempelajari perilaku reptil bayi dan
remaja selama bertahun-tahun dan tidak pernah melihat apa pun yang saya pikir
sebagai bermain. Lalu suatu hari tanpa sengaja saya melihat Pigface, kura-kura
bercangkang lembut Nil, memukul-mukul bola basket di Kebun Binatang National,
Washington, DC. Saya menyadari reptil juga senang bermain,” kata Burghardt.
Pada artikel yang berjudul “Resess,”
Burghardt menyoroti lima kriteria bermain. Burghardt menjadi salah satu
peneliti pertama yang mendefinisikan “bermain” pada manusia dan juga pada
spesies yang tidak diduga sebelumnya mampu bermain, seperti ikan, reptil dan
invertebrata. Topik yang diangkat dalam artikel Burghardt muncul dalam buku,
“The Genesis of Animal Play — Testing the Limits.”
Burghardt meringkas lima kriteria dalam
satu kalimat: “Bermain adalah perilaku berulang yang tidak sepenuhnya
fungsional dalam konteks atau dalam usia, yang mana hal itu dikerjakan dan
dimulai secara sukarela ketika hewan atau orang berada dalam keadaan santai
atau stres-rendah.”
Menurut Burghardt, dengan lebih akurat
mengkarakterisasi bermain dan mengamati seluruh kerajaan hewan, maka manusia
lebih bisa memahami diri mereka sendiri.
“Pada hewan, kita dapat mengevaluasi lebih
cermat peran bermain dalam pembelajaran keterampilan, menjaga kebugaran fisik
dan mental, meningkatkan hubungan sosial dan seterusnya daripada yang kita bisa
dalam masyarakat,” kata Burghardt. “Kami kemudian dapat mengembangkan ide ini
dan menerapkannya kepada manusia untuk melihat apakah dinamikanya juga sama
pada pekerjaan. Sebagai contoh, peran bermain dalam mengurangi efek dari
gangguan perhatian defisit hiperaktif pada anak-anak yang sedang dikaji
berdasarkan penelitian pada tikus.”
Bermain telah membantu terapi bagi
anak-anak yang mengalami gangguan. Selain itu, studi-studi sedang berlangsung
pada peran aktif manfaat dan secara intelektual merangsang kesenangan bagi para
pensiunan. Demikian pula, pekerjaan yang menyerupai bermain sangat didambakan
oleh manusia.
“Anak-anak dan orang dewasa sering ingin
melakukan aktivitas menyenangkan diri dan akan bekerja keras untuk memiliki
kesempatan melakukannya. Bagi orang-orang yang paling beruntung, pekerjaan
mereka adalah bermain itu sendiri jika memenuhi lima kriteria,” kata Burghardt.
Penelitian Burghardt mengilustrasikan bagaimana
bermain telah tertanam dalam biologi spesies,
termasuk di dalam otak. Bermain, sebanyak psikologi hewan termasuk emosi,
motivasi, persepsi dan kecerdasan, merupakan
bagian dari sejarah evolusi mereka dan bukan hanya perilaku acak yang tak
berarti, katanya.